Jumat, Februari 27, 2009

Mengadu ke Allah

Pernah lihat sikap seorang anak kecil ketika dijahili temannya? Biasanya si anak bilang, ‘awas aku aduin ke bapakku’. Seharusnya sikap kita sama seperti anak kecil tersebut ketika kita punya masalah yang menghimpit, bedanya kita mengadu ke Allah. Si anak tadi mengadu ke bapaknya, karena dia yakin bapaknya akan melindunginya. Begitupun, ketika kita mengadu minta tolong ke Allah, harusnya kitapun yakin akan pertolongan-Nya.

Ditulis oleh Guswib Sholat Center Yogyakarta 15 Februari 2009

RENUNGAN INDAH


Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua"derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

W.S. Rendra

Sexy Body Istri Tetangga - Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:
"Apakah anda punya tetangga?"
Biasanya dijawab: "Tentu punya"
"Punya istri enggak tetangga Anda?"
"Ya, punya dong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus,tak pernah melihat"
"Jari-jari kakinya lima atau tujuh?"
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?"
Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:
"Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kitaperhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndakusah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, manayang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.
Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah.

Emha Ainun Nadjib

Minggu, Februari 22, 2009

Spiritual Hak dan Bathil

Untuk membedakan konsep spiritual yang hak dan yang bathil. Pada prinsipnya sudah jelas, Islam menghilangkan konsep berhala sebagai objek pikir dan ketuhanannya. Mengapa Islam melarang penggunaan media patung didalam berdoa dan shalat, agar tidak terlacaknya getaran uluhiyah yang tidak bisa diukur dengan ilmu pengetahuan biasa. Sehingga reseptor indera tidakmampu menangkap getaran yang begitu cepat dan dahsyat seperti yang pernah dirasakan oleh nabi Musa dan Rasulullah saw.Gelombang uluhiyah tidak bisa ditangkap oleh gelombang elektromagnetik dan alat ukur lainnya yang bersifat materi. Kecuali hati orang mumin yang lunak dan tenang. Berupa Ilham, yaitu suatu wilayah ruhani yang tidak bisa diukur, karena tidak ada alat untuk mengukur ruh, seberapa berat dan tingginya. sehingga mustahil keruhanian bisa diukur dan diketahui. Karena ukuran kedalaman iman tidak bisa diketahui oleh siapapun. Karena tidak mungkin mengukur sesuatu dari bahan yang berbeda. Materi hanya bisa diukur dengan materi, ruhani hanya bisa diukur dengan ruhani. Sedangkan tuhan tidak bisa diukur dengan selain tuhan. Laisa kamist lihi syai’un.

oleh Ustadz Abu Sangkan ” Spiritual Salah Kaprah “