Kamis, Desember 17, 2009

Selamat Tahun Baru 1431H


Kawan, Sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya

(A. Mustofa Bisri, Antologi Puisi Tadarus)

Tahun baru Hijriyah hampir bersamaan dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk-pikuk luar biasa. Sementara tahun baru Hijriyah yang sering diidentikkan dengan tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak—lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak—dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.
Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”
Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara-pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halaqah-halaqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai.
Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).
Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.
Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.
Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.
Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.
Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.
Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.
Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini.
Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para sahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan-kepentingan terselubung dan ketamakan.Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan kaum beragama.
Plakat-plakat bertuliskan “An-nazhaafatu minal iimaan” dengan terjemahan jelas “Kebersihan adalah bagian dari iman”, diejek oleh kekumuhan, tumpukan sampah, dan kekotoran hati di mana-mana.
Kesungguhan yang diajarkan Quran dan dicontohkan Nabi tak mampu mempengaruhi tabiat malas dan suka mengambil jalan pintas.
Di atas, korupsi merajalela. Sementara di bawah, maling dan copet merebak
Jumlah orang miskin dan pengangguran seolah-olah berlomba dengan jumlah koruptor dan mereka yang naik haji setiap tahun.
Nasib hukum juga tidak kalah mengenaskan. Tak perlulah kita capek terus bicara soal mafia peradilan dan banyaknya vonis hukum yang melukai sanubari publik untuk membuktikan buruknya kondisi penegakan hukum negeri ini.
Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar. Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya.
Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.
Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.
Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.
Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”—hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?

Selamat Tahun Baru !

Oleh: A. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Jumat, Desember 11, 2009

Sekolah

Buat apa sekolah..?
Sekolah = sarana untuk mengumpulkan informasi dari ALLAH... Informasi untuk apa..?
Informasi untuk bekal sebagai kalifah di bumi...
Dimana sekolahnya...?
Di universitas kehidupan...
Yang dipelajari ilmu apa..?
Seluruh yang terhampar di semesta ini adalah ILMUNYA
Siapa gurunya...?
Guru besarnya adalah ALLAH...

*****

Seorang bayi yang baru lahir beberapa saat kemudian sudah bisa menetek ke ibunya.
Siapa yang mengajari si bayi, kalau menetek itu disedot bukan ditiup..?

Awalnya si bayi hanya bisa telentang, kemudian tengkurap, duduk, berdiri, berjalan , sampai lancar bicara…
Siapa yang mengajari si bayi..?

Allah-lah pengasuh, pendidik dan penyempurna kehidupan kita.
Secara lahiriah kita merasa yang mengasuh dan mendidik kita adalah orang tua dan guru kita.
Kita malah merasa bahwa Allah tidak turut serta dalam pengasuhan dan pendidikan kita.
Padahal DIA selalu terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan kita………..

Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha MELIPUTI segala sesuatu.(QS An-Nisa : 126)


** anak mbarep, Rahma Anisah Savita, hari ini genap umur 7 tahun, semoga menjadi anak yg soleha & bermanfaat………

Rabu, Maret 25, 2009

Nur Ala Nur

"Setan dan hawa nafsu seperti seorang pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah kita di malam hari, ketika lampu-lampu didalam rumah telah dipadamkan, untuk mencuri segala sesuatu yang berharga. Kita tidak akan dapat melawan pencuri ini secara langsung, karena ia akan membalikkan kekuatan apa pun yang kita arahkan kepadanya. Jika kita menggunakan senjata, sang pencuri pun menggunakan benda serupa. Solusi yang paling mudah adalah dengan menghidupkan lampu. Si pencuri yang hanya berani hanya didalam kegelapan pasti akan lari meninggalkan rumah kita". Analogi yang indah dari Syekh Tosun Bayrak.

“Menghidupkan lampu” adalah menghidupkan cahaya didalam hati kita. Menghidupkan energi postif kita. Menjaga hati kita agar selalu bersih, menjaga dari eneg (energi negatif) sehingga energi cahaya Ilahi bisa masuk ke dalam hati kita. Menjadikan hati sebagai lentera hidup kita.
...............................

Ya Allah, Engkaulah nur ala nur, cahaya diatas cahaya
Ya Allah, terangilah jalan orang tua kami yang berpulang kepada-Mu
Ya Allah, terangilah hati keluarga kami dengan cahaya petunjuk-Mu
Ya Allah, terangilah hati anak-anak kami dengan cahaya kefahaman-Mu
Ya Allah, terangilah hati pasangan hidup kami dengan cahaya kasih sayang-Mu
sebagaimana Engkau menerangi langit dan bumi selamanya dengan rahmat-Mu

Tanpa cahaya-Mu, kami akan tersesat
Tanpa cahaya-Mu, kami tidak bisa iqra' segala ciptaan-Mu
Tanpa cahaya-Mu, kami tidak bisa menemukan makna hidup....


Abu Danis, Malang 25 Maret 2009, bengi-bengi, dikancani gedang goreng & wedang susu

All That U Can't Leave Behind


Tadi waktu di kamar mandi tiba-tiba teringat judul album U2 " ALL THAT YOU CAN'T LEAVE BEHIND". Dalam hati saya artikan dengan kira-kira...soale english-ku kacau balau he he he..."Segala sesuatu yang tidak bisa kamu tinggalkan (tempatkan dibelakangmu)".
Lho sekarang kok saya jadi ingat takbiratul ikhram, takbir yang mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa madhep lurus ke Gusti Allah. Menempatkan segala sesuatu dibelakang kita, masalah, persepsi, anak, istri, tetangga, kendaraan, pekerjaan, dll, dlsb...karena kita sedang menghadap, face to face dengan Sang Khalik.
Tapi takbiratul ikhram-ku selama ini masih " ALL THAT YOU CAN'T LEAVE BEHIND", menempatkan segala sesuatu berada didepanku,..sehingga terhijablah pertemuan dan dialog dengan Sang Khalik.

Abu Danis, Malang 25 Maret 2009, bengi-bengi dewean, ojob & da-nis wis bubuk

Senin, Maret 16, 2009

Nglakoni Al-Qur’an

Di RT-ku digiatkan lagi pengajian, belajar IQRO’… belajar mebaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar. Kebanyakan yang belajar tajwid adalah bapak-bapak yang sudah sepuh. Subhanallah, tanpa ada rasa malu atau gengsi mereka belajar kepada yang lebih muda, bahkan jauh lebih muda.
Menurut pengamatan saya bapak-bapak tersebut cuma tidak bisa membaca kitab suci Al-Qur’an dengan tajwid yang bagus TAPI para bapak-bapak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya sudah menerapkan apa yang tertulis didalam Al-Qur’an….bermuamalah, bersilaturahim, saling tolong menolong, menjenguk bila ada yang sakit, memberi makan bila ada yang kelaparan, memberi minum bila ada yang kehausan…dll……dlsb…mereka sudah mengamalkan tanpa mereka sadari.
Saya jadi ingat sebuah hadist, ketika Aisyah RA ditanya mengenai akhlak Rosullullah, Aisyah RA menjawab bahwa akhlak rosul adalah Al-Qur’an….
Ya Allah, rahmatilah mereka….seharusnya dari bapak-bapak sepuh itulah kami belajar NGAJI AL-QUR’AN, nglakoni Al-Qur’an, menerapkan Al-Qur’an kedalam kehidupan sehari-hari, menjadikan Al-Qur’an akhlak didalam menjalani kehidupan.

Abu Danis, Malang, 16 Maret 2009 bengi, dewean, ojob & nak-kanak wis bubuk

Para Pencari Tuhan dan Para Penghianat Tuhan

Ada rasa penasaran di dalam hati kalo pas melihat judul sinetron di salah satu stasiun TV swasta “Para Pencari Tuhan” . Dalam hati saya bertanya…apakah saya sudah termasuk ke dalam kelompok Para Pencari Tuhan..???
Jujur saya merasa saat ini malah masih berada di kelompok Para Penghianat Tuhan. Hatiku, pikiranku, langkah-langkahku, aktifitas-aktifitasku masih tunduk kepada nafsuku sendiri…tunduk kepada egoku…. saya lebih menuhankan materi-materi…berhala…Niatku didalam beraktifitas masih karena kepingin dilihat dan dipuji orang, …riya..
Padahal Gusti Allah pernah bertanya “Alastu birabbikum…bukankah Aku Tuhanmu..? dan manusia menjawab..”Nggih, kulo bersaksi Panjenengan Gusti kulo, sesembahan kulo..tujuan kulo…”
Ya Allah kulo nyuwun ngapunten………..ihdinasshirothol mustakim…….

Abu Danis, Malang, 16 Maret 2009, bengi pas ojob & nak-kanak wis bubuk

Rendah Hati

Ketika George W Bush datang ke Indonesia, area radius beberapa kilometer tidak bisa dipakai untuk komunikasi. Ada alat yang bisa mengacak frekwensi jalur komunikasi.
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari peristiwa tersebut ?
Pada jaman rekolobendu, setan pernah berdo’a meminta kepada Allah…
”Ya Allah ijinkan kami untuk menggoda anak cucu Adam sampai akhir jaman, kecuali mereka yang muklis”. …
Jadi antena setan ndak bisa mendeteksi atau menerima sinyal manusia-manusia yang merendahkan hatinya kepada Allah … tawadhu…setan tidak bisa menggoda manusia yang hatinya selalu tunduk kepada Allah…

Abu Danis, diilhami dari ceramah Pelatihan Sholat Khusyu', Ustadz Abu Sangkan, Kampus ABM Malang, 24-25 Januari 2009

Jumat, Februari 27, 2009

Mengadu ke Allah

Pernah lihat sikap seorang anak kecil ketika dijahili temannya? Biasanya si anak bilang, ‘awas aku aduin ke bapakku’. Seharusnya sikap kita sama seperti anak kecil tersebut ketika kita punya masalah yang menghimpit, bedanya kita mengadu ke Allah. Si anak tadi mengadu ke bapaknya, karena dia yakin bapaknya akan melindunginya. Begitupun, ketika kita mengadu minta tolong ke Allah, harusnya kitapun yakin akan pertolongan-Nya.

Ditulis oleh Guswib Sholat Center Yogyakarta 15 Februari 2009

RENUNGAN INDAH


Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku

Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua"derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

W.S. Rendra

Sexy Body Istri Tetangga - Dengan Sapi pun, Kita Bekerja Sama

Dalam forum maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:
"Apakah anda punya tetangga?"
Biasanya dijawab: "Tentu punya"
"Punya istri enggak tetangga Anda?"
"Ya, punya dong"
"Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?"
"Secara khusus,tak pernah melihat"
"Jari-jari kakinya lima atau tujuh?"
"Tidak pernah memperhatikan"
"Body-nya sexy enggak?"
Hadirin biasanya tertawa. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka:
"Sexy atau tidak bukan urusan kita,kan?Tidak usah kitaperhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja".
Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndakusah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, manayang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.
Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah, justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.
Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran.
Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.
Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.
Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.
Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama dibidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapipun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dangan hati. Itulah maiyah.

Emha Ainun Nadjib

Minggu, Februari 22, 2009

Spiritual Hak dan Bathil

Untuk membedakan konsep spiritual yang hak dan yang bathil. Pada prinsipnya sudah jelas, Islam menghilangkan konsep berhala sebagai objek pikir dan ketuhanannya. Mengapa Islam melarang penggunaan media patung didalam berdoa dan shalat, agar tidak terlacaknya getaran uluhiyah yang tidak bisa diukur dengan ilmu pengetahuan biasa. Sehingga reseptor indera tidakmampu menangkap getaran yang begitu cepat dan dahsyat seperti yang pernah dirasakan oleh nabi Musa dan Rasulullah saw.Gelombang uluhiyah tidak bisa ditangkap oleh gelombang elektromagnetik dan alat ukur lainnya yang bersifat materi. Kecuali hati orang mumin yang lunak dan tenang. Berupa Ilham, yaitu suatu wilayah ruhani yang tidak bisa diukur, karena tidak ada alat untuk mengukur ruh, seberapa berat dan tingginya. sehingga mustahil keruhanian bisa diukur dan diketahui. Karena ukuran kedalaman iman tidak bisa diketahui oleh siapapun. Karena tidak mungkin mengukur sesuatu dari bahan yang berbeda. Materi hanya bisa diukur dengan materi, ruhani hanya bisa diukur dengan ruhani. Sedangkan tuhan tidak bisa diukur dengan selain tuhan. Laisa kamist lihi syai’un.

oleh Ustadz Abu Sangkan ” Spiritual Salah Kaprah “